Tapi cerita nyata para pemburu harta terpendam itu tak kalah seru. Mereka bekerja dengan kesabaran luar biasa, bertahun-tahun. Pengorbanannya besar. Ada yang kehilangan saudara, atau tak bisa menikmati hasil akibat terganjal aturan pemerintah setempat. Ada pula yang berakhir di penjara.
Di dunia nyata, ada sederet nama pemburu harta karun legendaris. Sebut saja Mel Fisher, Heinrich Schliemann, dan Michael Hatcher. Naluri mereka tajam, bak Indiana Jones di film. Lewat kerja mereka, sejumlah harta terpendam ditemukan, dengan nilai yang membuat para pedagang silau.
Mel Fisher adalah legenda bagi pemburu harta karun di Amerika Serikat. Dialah penemu bangkai kapal Spanyol, Nuestra Senora de Atocha. Kapal layar tipe galeon itu tenggelam akibat badai di perairan Florida pada tahun 1622. Setelah dua setengah abad terpendam, rongsokan kapal itu ditemukan pada 20 Juli 1985. Kerja keras Fisher dan anak buahnya tidak sia-sia. Dari bangkai kapal itu, mereka menemukan bongkahan emas dan perak seberat 40 ton, 114.000 koin perak dan emas, permata asal Kolombia,dan benda berharga lain. Permata itu dikenal berkualitas terbaik di dunia. Benda itu berasal dari pertambangan Muzo di Kolombia. Berdasarkan perhitungan, seperti tercantum dalam situs pribadi www.melfisher.com, total benda itu bernilai US$450 juta! Konon, itu baru setengah dari harta tenggelam bersama Atocha, yang berhasil ditemukan Fisher. Bahkan, bagian dari kapal diduga menyimpan setengah harta lagi masih belum kelihatan.
Selain mengamankan harta dari kapal Atocha, perusahaan Fisher, Salvors Inc., juga menemukan bangkai sejumlah kapal di perairan Florida. Itu termasuk Santa Margarita, yang diyakini “saudara” dari Atocha karena tenggelam di tahun sama. Selain kapal pengangkut harta, Fisher juga berhasil menemukan bangkai kapal pengangkut budak, Henrietta Marie.
Lahir di negara bagian Indiana pada 21 Agustus 1922, Fisher bukanlah berasal dari keluarga berada. Di masa kecil, dia tertarik buku cerita tentang harta karun, dan sudah berangan-angan suatu ketika bisa menemukannya sendiri di bawah laut. Fisher kecil sudah merintis impiannya dengan melakukan kreasi menggelikan dengan membuat helm selam dari ember, selang air, dan pompa sepeda sebagai penyedia udara.
Sempat direkrut sebagai tentara Amerika, dan bertugas di Prancis dan Jerman selama Perang Dunia Kedua, Fisher memutuskan meninggalkan kampung halaman mengadu nasib ke California pada usia 30 tahun.
Di sana, Fisher sempat menjadi peternak ayam sebelum akhirnya membuka toko peralatan selam. Dia pun mendalami ilmu di Universitas Purdue. Pada 1953, Fisher menikah dengan Dolores (Deo) Horton, yang kemudian menjadi mitra bisnisnya. Pasangan itu memiliki empat anak. Tiga diantaranya lelaki, yaitu Dirk, Kim, dan Kane dan seorang perempuan bernama Taffi.
Fisher akhirnya mencoba peruntungan lain yang mengasyikkan bagi mereka berjiwa petualang: dia menjadi pemburu harta karun di bawah laut. Dia mengajak keluarganya ikut berburu. Apalagi istrinya, Deo, sangat cakap dalam menyelam. Deo belakangan dikenal sebagai perempuan pertama belajar menyelam, dan berhasil mengukir rekor dunia dengan tetap bertahan di bawah laut selama 50 jam. Jadilah perburuan harta karun menjadi ladang penghidupan keluarga Fisher.
Tapi, peristiwa tragis menimpa keluarga besar itu. Pada 13 Juli 1975, putra sulungnya, Dirk, beserta menantunya, Angel, dan seorang penyelam tewas setelah kapal mereka tumpangi terbalik. Padahal, satu pekan sebelumnya mereka menemukan lima meriam yang diyakini berasal dari kapal Atocha. Misi pertama itu secara keseluruhan merenggut lima nyawa. Namun, mengikuti tekad almarhum putranya, Fisher dan timnya meneruskan pencarian. Sepuluh tahun kemudian, usaha itu tak percuma. Bangkai kapal Atocha dan sebagian hartanya berhasil ditemukan. Fisher pun merekrut seorang arkeolog, Duncan Mathewson, untuk meneliti barang-barang itu, sekaligus mendukung misi eksplorasi Atocha. Konon Mathewson sengaja direkrut mengantisipasi opini miring atas Fisher.
Sebenarnya, perburuan harta karun bukanlah perbuatan melanggar hukum di AS, termasuk di negara bagian Florida. Namun, para arkeolog menilai bahwa tidak elegan bila misi perburuan itu tidak menyertakan arkeolog profesional. Etika itu akhirnya mengubah operasi internal Fisher dan timnya.
Melihat Fisher kian mengeruk keuntungan dari penemuannya di perairan Florida, pemerintah setempat pada 1975 mengklaim temuan Fisher adalah juga milik negara. Maka pemerintah Florida dengan paksa menyita artifak yang ditemukan Fisher, dan kelompoknya. Fisher pun tak mau tinggal diam. Dia melakukan perlawanan secara hukum dengan menyewa David Paul Horan sebagai pengacara. Tujuh tahun kemudian, setelah menghadiri 141 kali sidang, Mahkamah Agung memenangkan gugatan diajukan Fisher kepada Pemerintah Florida. Fisher berhak mendapatkan kembali barang-barang yang ditemukan dari Atocha, Margarita. Pengacaranya, Marie, bisa meyakinkan hakim, bahwa kapal-kapal itu ditemukan pada wilayah di luar otoritas pemerintah Florida.
Tapi Mahkamah Agung mensyaratkan perusahaan Fisher harus menyumbangkan 20 persen dari temuan benda berharga kepada pemerintah negara bagian Florida. Dia tak keberatan dengan syarat itu. Fisher yakin, banyak harta karun yang dia temukan itu terlalu penting untuk dijual ke segelintir kalangan.
Maka, pada 1982 Fisher pun mendirikan museum, dan satu yayasan Mel Fisher Maritime Heritage Society. Musium dan yayasan nirlaba itu khusus menunjukkan kepada publik benda-benda berharga peninggalan Spanyol di era kolonial maupun di tahun awal Benua Amerika ditemukan para penjelajah Eropa.
Pada 19 Desember 1998, Fisher wafat di usia 76 tahun. Dia tetap dikenang sebagai pemburu harta karun tersukses di zamannya.
Karir Fisher rupanya mengilhami seorang pemuda, Frederick “Cork” Graham. Tapi nasibnya berbeda. Dia gagal meraih harta terpendam, dan justru dijebloskan ke penjara di Vietnam.
Lelaki kelahiran 29 November 1964 itu tergoda ajakan temannya mencari harta karun, yang konon, dikubur oleh Kapten Kidd di suatu tempat di Vietnam. Kisah tragisnya itu diceritakan kembali oleh Cork dalam buku The Bamboo Chest: An Adventure in Healing the Trauma of War pada 2004. Kisah Cork juga ada pada satu bab di buku The Sacred Art of Hunting: Myths, Legends, and the Modern Mythos pada 1999
Dalam bukunya itu, Cork mengaku sempat berdomisili di Vietnam dari 1968 hingga 1972. Saat itu, dia ikut ayahnya, yang bekerja sebagai tukang listrik di negara itu. Setelah drop out dari College of San Mateo, Cork kembali ke Asia Tenggara pada April 1983, kali ini bercita-cita sebagai seorang pewarta foto.
Tiba di Bangkok, Thailand, Cork berencana meliput perang yang dilancarkan rezim Khmer Merah di Kamboja. Namun, tidak ada media mau mempekerjakan Cork karena dia belum berpengalaman di bidang jurnalistik, apalagi meliput di wilayah konflik.
Cork lalu mencoba peruntungan lain. Dia diundang ikut berburu harta karun di Pulau Phu Quoc, Vietnam. Konon, di situlah seorang bajak laut di abad ke-17 bernama Kapten Kidd menyimpan harta hasil rampokan. Ketua tim ekspedisi adalah Richard Wright, yang sebelumnya dikenal sebagai “aktor gagal.” Tak punya penghasilan di negeri orang, Cork pun mencoba kesempatan itu.
Mereka berdua bertemu pada 7 Juni 1983. Knight saat itu mengaku telah mengantungi peta warisan kakeknya yang menunjukkan harta Kapten Kidd. Peta itu konon sudah berusia 300 tahun. Sehari kemudian, berangkatlah mereka dari pantai Pattaya menuju Vietnam dengan perahu sewaan.
Bukan harta yang dilihat, justru malang yang dijumpa. Pada 16 Juni 1983, mereka berdua dicokok aparat keamanan Vietnam karena masuk secara ilegal. Pemerintah Vietnam pun baru melaporkan penahanan pemburu harta yang gagal itu kepada Inggris pada 1 September, atau sekitar tiga bulan kemudian.
Pada November, mereka dinyatakan bersalah oleh pengadilan setempat, dan masing-masing harus membayar denda US$10.000 atau dijatuhi hukuman kurungan. Semua peralatan yang mereka bawa, termasuk perahu sewaan, juga disita.
Keluarga Cork dan Knight mengaku tidak punya uang membayar denda, dan memohon kepada pemerintah Vietnam dengan alasan kemanusiaan. Namun Vietnam tidak mau mendengar, dan justru menyarankan Amerika dan Inggris turut menanggung pembayaran denda bagi warganya. Ironisnya, pemerintah Amerika dan Inggris tidak sudi menanggung denda itu.
Pada 18 Mei 1984, Cork akhirnya dibebaskan setelah keluarganya mengumpulkan uang US$10.000 guna membayar denda. Sedangkan Knight baru dibebaskan 20 Agustus lantaran keluarganya hanya punya uang US$2.000, namun akhirnya bisa mendapat seorang donatur dari London yang sanggup menanggung sisa denda.
Dua asisten mereka, yang warga Thailand lebih malang lagi. Mereka mendekam di penjara selama 44 bulan dan baru bebas berkat bantuan pengusaha yang juga membantu membebaskan Knight.
Pulang ke Amerika, bukan simpati yang didapat, Cork malah menerima ejekan. Surat kabar terkemuka, Washington Post, misalnya, menggambarkan perburuan harta karun oleh Cork di Vietnam itu sebagai tindakan konyol, mengingat para sejarawan belum sepakat apakah benar Kapten Kidd dan kapal bajak lautnya pernah mampir di lepas pantai kawasan Indochina. Konon lagi sampai menyembunyikan harta karun di sana.
Belakangan Cork pun menyesali kekhilafannya.Bukannya jadi kaya raya, Cork pulang kampung dengan berat badannya susut 40 pon (sekitar 18 kg). Dia juga menderita gangguan stress pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder – PTSD). Cork sempat menjadi pewarta foto lepas di Amerika Tengah, sebelum akhirnya menenangkan diri di Alaska. Dia tampaknya kapok menjadi pemburu harta karun. Belakangan, Cork memilih jadi konsultan spesialis gangguan PTSD.
Artikel selanjutnya: Pengangkatan Yang Mahal dan Sulit
Semesta Biologi
(Heri Susanto, VivaNews)
0 komentar:
Posting Komentar
Jika merasa artikel yang telah Anda baca bermanfaat, silahkan meninggalkan komentar